PEMETAAN DAN SUMBER DAYA HAYATI MANGROVE


MAKALAH
PEMETAAN DAN SUMBER DAYA HAYATI
KELOMPOK 1
1.      ROBERTO ANDRI QUINUS JANGGA
2.      SERVIANA BETE
3.      ANDERIAS SELAN
4.      ANITA ELISABETH MBURA
5.      BEATRIX FERNANDA PAA
6.      SELVIANA BETE
7.      ALVIN REYNALDI TONI
8.      DEMIANUS YORITO FALLO
9.      MARIA BEATRIX SANGGUT
10.  CRISTANTO SALUT
11.  MARLIN FANGGI TASIK
12.  CHEZYA BRYGITA SALESTIN
13.  AMERI KEBKOLE

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019


KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur penulis ucakapan kepada hadirat Allahh Yang Mahakuasa,karena atas berkat dan bimbinganya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.Adapun judul makalah ini ialah “Bioekologi Mangrove”.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kulia Bioekologi Pesisir dan Laut Tropis.
            Penulis menyadari bahwa makalah belum sempurna sehingga kritik dan saran ssangat dibutuhkan untuk melengkapi makalah ini.Sehingga makalah ini dapat menjadi acuan bagi penulis lainya .



                                                                                    Kupang , Februari 2019


                                                                                                Tim Penulis









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1  Latar Belakang...........................................................................
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................
1.3  Tujuan...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
            2.1 Defenisi Mangrove............................................................................
            2.2 Faktor Pembatas................................................................................
            2.3 Zonasi Mangrove...............................................................................
            2.4 Pola Adaptasi Mangrove....................................................................
            2.5 Fungsi dan Mannfaat Mangrove.........................................................
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan...........................................................................................
            3.2 Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi laut. Proses dekomposisi bakau atau mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai penghasilan masyarakat desa di daerah. pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora-fauna pesisir, serta dapat juga dikembangkan sebagai wahana wisata untuk kepentingan pendidikan dan observasi/penelitian.
Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik didalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penyalahgunaan sumberdaya alam di wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti : penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan (Permenhut, 2004).
Kualitas lingkungan pesisir saat ini terus mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kenaikan jumlah penduduk di kawasan pesisir secara otomatis meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan energi, hal ini mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya pesisir semakin meningkat. Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir, saat ini di seluruh dunia terus mengalami tekanan. Menurut F.A.O (2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14,6 juta ha pada tahun 2000, sedangkan di Indonesia, luas mangrove mencapai 4,25 juta ha pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada tahun 1990 dan tersisa 2,93 juta ha pada tahun 2000.
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragamanbiota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001).
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakng tersebut diatas maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut
1)      Apa itu  mangrove?
2)      Apa saja faktor pembatas pada mangrove?
3)      Bagaimanakah zonasi mangrove?
4)      Bagai manakah pola adaptasi mangrove?
5)      Apa saja fungsi dan manfaat mangrove?

1.3 Tujuan
            Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas maka tujuan dari makalah ini ialah sebagai berikut
1)      Menjelaskan apa itu mangrove.
2)      Mejelaskan faktor pembatas pada mangrove.
3)      Menjelaskan zonasi mangrove.
4)      Menjelaskan pola adaptasi mangrove.
5)      Menjelaskan fungsi dan manfaat mangrove.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mangrove
            Asal kata mangrove tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat mengenal asal-usul katanya.Macnae(1968) menyebutkan bahwa mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove.Perpaduan bahasa ini menjadi mangrove yakni semak belukar yang tumbuh ditepi laut.Tomlinson(1986) dan Wightman(1989) mendefenisikan mangrove sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut.
            Menurut Nybakken(1992),mangrove (hutan bakau) atau mangal adala sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietes komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk  tumbuh pada perairan asin.Lebih lanjut Nybakken(1992) menyebutkan bahwa bakau adalah tumbuhan daratan yang ditunjukan untuk semua individu tumbuhan.Mangal ditunjukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan bakau.Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai,hutan payau,atau hutah bakau.Sementara menurut Mastaller (1997),Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avecenia dan sampai saat ini masih digunakan di Indonesia bagian timur.
            Mangrove dalam bahasa Indonesia disebut juga hutan pasang surut,hutan payau,rawa-rawa payau,atau hutan bakau.Istilah yang sering digunakan adalah mangrove,hutan bakau,atau hutan payau (Kartawinata 1979;SNM 2003).Namun demikian,lebih dianjutkan  penggunaan istilah mangrove disusun oleh banyak genus dan spesies tumbuhan lainya.Penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari(SNM,2003).
            Tomlinsom (1986) membagi mangrove menjadi 2 yaitu,mangrove utama dan mnagrove  ikutan.Kitamura et al (1997) dan Giesen et al.(2006) jenis ketapang dan pandan termasuk kategori mangrove.Berikut ini adalah penjelasaan dari tiga bagian tersebut.
a.       Mangrove Mayor (Komponen Utama)
Kelompok tumbuhan di dalam mangrove mayor mempunyai kemampuan adaptasi morfologi seperti akar udara dan mekanisme fisiologis  khusus untuk mengeluarkan garam.Secara taksonomi,kelompok tumbuhan ini berbeda dengan tumbuhan darat.Kelompok tumbuhan ini hanya ada di mangrove membentuk tegakan murni,tidak pernah bersama dengan kelompok tumbuhan darat.Contohnya dari mangrove mayor (Bruguiera cylindrica),kenyonyong (Ceriops decandra),dan bakau (Rhizopora apiculata)
b.      Mangrove Minor(Komponen/Tumbuhan Pantai)
Kelompok tumbuhan ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove.Biasanya tumbuhan dalam kelompok ini terdapat didaerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni.Contoh dari mangrove minor yaitu sentigi(Pemphis acidula),dan nyirih(Xylocarpus granatum).
c.       Mangrove Asosiasi
Kelompok tumbuhan ini tidak pernah tumbuhan ini tidak pernah tumbuhan dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat.Contoh mangrove asosiasi yaitu legundi (Vitex ovata),Ketapang(Terminilia catappa),waru laut (Thespesia popunea),dan pandan (Pendanus odoratissima).
2.2 Faktor Pembatas
Menurut para ahli bakau dijumpai banyak faktor yang memberi pengaruh terhadap penyebaran dan pertumbuhan bakau. Berbagai faktor tersebut secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern terkait dengan kemampuan genetika dan perkembangbiakan tanaman serta aktivitas tanaman bakau sendiri seperti terkait dengan genetika atau spesiesnya, kemampuan adaptasi, kemampuan perkawinan silang, kemampuan mutasi dan modifikasi, serta kekmapuan melakukan penyebaran dari jenis tanaman bakau atau faktor biologis tanaman ini biasanya secara rinci dijelaskan oleh para ahli biologis.
Terkait dengan faktor ekstern yang memberi pengaruh pada penyebaran dan pertumbuhan mangrove sebenernya sejalan dengan berbagai faktor fisik geografis mulai dari jenis tanah, morfologi, landscape, iklim, suhu, sampai dengan kondiri air dan sejenisnya. Adapun menurut beberapa ahli bakau seperti yang disebutkan diitas, beberapa faktor fisik geografis yang berkontribusi terhadap penyebaran dan pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut.

a.              Faktor fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan keberadaan serta luas hutan mangrove. Diketahuan bahwa pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbu. Hal tersebut menunjukan bahwa pada pantai yang landai dengan kondisi gelombang yang lembutlah yang paling disukai oleh pertumbuhan dan perkembangan mangrove.
b.             Faktor Pasang-surut
Pasang surut suatu pantai yang terjadi di kawasan hutan mangrove sangat menentukan zonasi, pertumbuhan, dan penyebaran kehidupan mangrove. Dalam kondisi seperti itu menjadikan komunitas hewan serta ikan yang mampu hidup dan berasosiasi dengan ekosistem mangrove menjadi lebih bagus dan beragam jenisnya. Pengaruh kondisi pasang-surut terhadap pertumbuhan mangrove antara lain dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut.
1)      Faktor lama pasang air laut dipantai. Dalam hal ini terkait dengan: (a) lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air di mana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut; (b) perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal dan; (c) perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme.
2)      Durasi pasangnya air laut di pantai yang terkait dengan hal-hal berikut: (a) struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda; (b) komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya: penggenangan sepanjang waktu, maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis bluguiera serta xylocarpus kadang-kadang ada.
3)      Rentang pasang air laut (tinggi pasang). Hal mana terkait dengan: (a) akar tunjang yang dimiliki Rhizophora murconata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya; (b) Pneumatophota sonneratia sp.menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
c.              Gelombang dan Arus
Terkait dengan faktor keberadaan gelombang dan arus air laut yang menimpa suatu pantai, dapat dijelaskan bahwa keberadaan gelombang dan arus laut sangat terkait dengan keberadaan tumbuhan mangrove di pantai di mana tumbuhan ini berada, keterkaitan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar dan kuat biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
b.      Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies mangrove, misalnya buah mangrove atau sering disebut sebagai rhizophoza terbawa gelombang dan arus sampai menemukan media yang cocok atau yang sesuai untuk menancap dan dapat akhirnya tumbuh.
c.       Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan dan endapan tanah pasir di muara sungai. Proses  sedimentasi semacam itu menimbulkan berbagai padatan sedimen pasir, hal ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove.
d.      Gelombang dan arus laut yang menerpa pantai dapat mempengaruhi daya tahan organisme akuatik di area pantai, ia melalui transportasi nutrient-nutrient (unsur hara sebagai “makanan” mangrove) penting bagi mangrove ke laut. ¬Nutrient-nutrient yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. Hal tersebut menjadikan lahan pantai itu menjadi subur bagi pertumbuhan mangrove.
d.      Iklim
Sebagaimana diketahui bahwa iklim mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan bagi setiap tanaman (termasuk di dalamnya tanaman mangrove), ia merupakan faktor fisik yang terkait dengan sinar atau cahaya matahari, suhu, curah hujan, kelembapan, dan angin. Jadi pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove senantiasa terkait dengan kondisi cahaya, curah hujam, suhu dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Cahaya, diketahui bahwa cahaya matahari senantiasa memberikan pengaruh
bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut: (1) cahaya berpengaruh terhadap fotosintesis, respirasi, fisiologi dan struktur fisik mangrove, (2) intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis). Pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove, (3) laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya; (4) cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi di mana tumbuhan yang berada di luar kelompok(gerombol) akan menghasilkan lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
b.      Curah hujan, memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut: (1) jumlah,lama dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove; (2) curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah; (3) curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.
c.       Suhu, senantiasa memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut: (1)suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi); (2) produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20ºC dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang; (3) Rhizophora stlylosa, ceriops, excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28°C; (4) bruguire tumbuh optimal pada suhu 27°C dan xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26°C.
d.      Angin, memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut: (1) angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus; (2) angin merupakan agen polinasi dan diseminarsi biji sehingga membantu terjadi proses reproduksi tumbuhan mangrove.
e.       Salinitas atau kadar garam air laut, diketahui bahwa slinitas atau kadar garam air laut memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut:
(1)   Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt;
(2)   Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan;
(3)   Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang;
(4)   Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air.
f.  Oksigen terlarut, sebagaimana diketahui bahwa keberadaan oksigen yang ada atau yang dikandung oleh air memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove sebagai berikut:
(1) Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya;
(2) Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis;
(3) Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari.
g. Substrat, diketahui bahwa subtrat yang terkandung pada tanah pantai ternyata memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove, sebagaimana penjelasan berikut:
(1) Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove;
(2) Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur;
(3) Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir;
(4) Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan, misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan avicennia/sonneratia/rhizophora/bruguiera;
(6) Mg>Ca>Na atau K yang ada Nipah;
(7) Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca.
h.  Unsur hara tanaman, diketaui bahwa unsure hara tanaman yang terkandung dalam tanah memberikan pengaruh bagi tumbuhan mangrove. Unsur hara yang terdapat di dalam ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik, yakni meliputi:
(1) Anorganik: P, K, Ca, Mg, Na and;
(2) Organik: allochtonous dan autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).
2.3 Zonasi Mangrove
Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan lainnya.


Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok, yaitu:
  1. Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
  2. Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan lainnya.
Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove.Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.
Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1.   Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.   Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3.   Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.
Hutan mangrove juga dapat dibagi  menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.      Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2.       Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.       Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan lainnya.
Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok, yaitu:
1.Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
2.Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan lainnya.Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.
Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1.   Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.   Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3.   Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.
Hutan mangrove juga dapat dibagi  menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.      Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
Avicennia sp
Sonneratia sp
2.      Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
Rhizophora sp
3.      Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
Bruguiera sp.
4.      Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.  Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.

Nypa fruticans

2.4 Pola Adaptasi
Pada dasarnya karakteristik dari ekosistem mangrove adalah berkaitan dengan keadaan tanah, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan kandungan  oksigen tanah. Adapun adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitat tersebut tampak pada fisiologi dan komposisi struktur tumbuhan mangrove (Istomo, 1992). Tumbuh-tumbuhan mempunyai adaptasi anatomi dan fisiologi yang berkembang untuk kelangsungan hidupnya. Pada tumbuhan halofita, seperti halnya mangrove, hal ini penting untuk meningkatkan pertumbuhan yang terbaik di bawah kondisi salin (Shannon et al., 1994).
Adaptasi Anatomi Mangrove
Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi ekstrim tempat tumbuhnya, seperti (1) adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin, (2) sistem perakaran yang khas, dan lentisel sebagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.
Beberapa jenis tumbuhan mangrove toleran terhadap konsentrasi garam di jaringannya dan garam ini dikeluarkan melalui kelenjar-kelenjar khusus yang terdapat pada daunnya. Menurut Scholander (1968) dalam Tanasale (1997), tumbuhan mangrove terbagiatas dua golongan, yaitu (a) secreter, yakni jenis-jenis mangrove yang memiliki struktur kelenjar garam (salt gland) seperti Avicennia spp., Aegiceras spp., dan Aegialitis spp., dan (b) non-secreter, yaitu jenis-jenis mangrove yang tidak memiliki struktur kelenjar garam seperti Rhizophora spp., Bruguiera spp., Lumnitzera spp., dan Sonneratia spp.
Lebih lanjut Shannon et al., (1994) menyatakan bahwa pada umumnya adaptasi terhadap salinitas tergolong rumit yang merupakan formasi dari struktur  kelenjar garam yang terdapat pada daun atau permukaan epidermis batang. Halopita merupakan tumbuhan yang mekanisme pengeluaran garamnya kurang kuat pada sistem akar, seringkali memiliki suatu proses desalinasi pada parenkim daun melalui pengeluaran yang aktif. Pada umumnya pengeluaran garam dalam jumlah kecil saja sudah dapat memperbesar kelangsungan hidup dari tumbuh-tumbuhan yang keberadaannya stres pada garam.
Sementara salt-excretion secara normal sangat selektif terhadap ion Na+ dan Cl-, tetapi berlawanan dengan ion-ion hara (Shannon et al., 1994). Sedangkan pada jenis-jenis mangrove non-secreter kehilangan garam terjadi ketika daun atau bagian tumbuhan lain gugur (Clogh et al., 1982). Berdasarkan pengamatan, jenis-jenis mangrove non-secreter memiliki kulit luar yang mati yang jauh lebih tebal dibandingkan jenis-jenis mangrove yang memiliki kelenjar garam.
Kulit luar yang mati pada jenis-jenis non-secreter berkisar antara 0,5 – 1 cm (Percival dan Womersley, 1975; Onrizal, 1997). Kulit luar yang mati  dan tebal tersebut kemudian mengelupas dan lepas dari tumbuhan serta digantikan oleh kulit yang baru. Penulis berpendapat bahwa mekanisme hilangnya kulit yang mati dan tebal pada jenis-jenis mangrove non-secreter merupakan salah satu mekanisme hilangnya garam dari tumbuhan tersebut.
Namun demikian, untuk mengetahui berapa besar garam yang hilang melalui hilangnya kulit yang lepas tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Adaptasi tumbuhan mangrove secara anatomi terhadap keadaan tanah dan kekurangan oksigen adalah melalui sistem perakaran yang khas dan  lentisel pada akar nafas, batang dan organ lainnya ( (omlinson, 1986).
Ada tiga bentuk sistem perakaran pada tumbuhan mangrove, yaitu (a) akar lutut
(knee roots), contohnya pada Bruguiera spp., yang memberikan kesempatan bagi oksigen masuk ke sistem perakaran, (b) akar nafas (pneumatophore roots), contohnya pada Sonneratia spp., dan Avicennia spp. yang muncul dipermukaan tanah untuk aerasi, dan (c) akar tunjang (stilt roots), contohnya pada Rhizophora  spp. yang berbentuk seperti jangkar, berguna untuk menopang pohon.
a)      Akar Lutut (Knee-Roots)
Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar ini merupakan akar horisontal yang berbentuk seperti lutut, terlipat di atas permukaan tanah, meliuk ke atas dan bawah dengan ujung yang membulat di atas permukaan tanah. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parfivlora.
Akar Lutut pada Bruguiera gymnorrhiza
b)     Akar Pasak/Akar Napas (Pneumatophores)
Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar ke arah udara seperti pasak. Akar ini merupakan akar udara yang berbentuk seperti pensil atau kerucut yang menonjol ke atas, terbentuk dari perluasan akar yang tumbuh secara horisontal. Akar napas ini terdapat pada Avicennia alba, Xylocarpus moluccensis dan Sonneratia alba.
c)      Akar Tunjang (Stilt -Roots)
Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini merupakan akar udara yang tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan paling bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah. Akar tunjang ini berbentuk seperti ceker ayam. Biasanya perakaran ini dimiliki oleh mangrove yang hidup ditepi pantai dengan substrat pasir atau di rawa-rawa pinggir sungai. Fungsinya untuk menahan pohon agar tetap tegak berdiri bila dihempas angin dan bertahan dari deburan ombak. Akar ini terdapat pada Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa.

d)     Akar Papan (Plank-Roots)
Akar papan hampir sama dengan akar tunjang, tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini juga tumbuh secara horisontal, berbentuk seperti pita di atas permukaan tanah, bergelombang dan berliku-liku ke arah samping seperti ular. Akar ini terdapat pada Xylocarpus granatum.

Pada dasarnya sistem perakaran tumbuhan mangrove terdiri dari tiga komponen, yaitu (a) komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat ke bagian atas dari sistem perakaran dan berfungsi sebagai pertukaran gas, (b) komponen  penyerapan dan penjangkaran, befungsi untuk membentuk basis penjangkaran pada seluruh sistem dan untuk melakukan penyerapan zat hara, dan (c) komponen jaringan, yaitu bagian horizontal yang meluas dan berfungsi menyatu dengan penyerapan dan penjangkaran dari sistem perakaran (Tomlinson, 1986).
Selain bentuk akar yang khas dan adanya lentisel di berbagai organ tumbuhan mangrove, kekurangan oksigen juga dapat diatasi dengan adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting. Lubang-lubang ini membawa oksigen ke bagian akar tumbuhan mangrove (Ewusie, 1980). Kondisi ini terjadi saat air laut surut, sehingga lantai hutan mangrove saat air laut surut tersebut tidak tergenang air secara keseluruhan.
Hampir semua jenis mangrove, daun-daunnya mempunyai sejumlah kenampakan anatomi yang membatasi hilangnya uap air. Hal ini mencakup kutikula yang tebal, lapisan lilin, dan stomata yang tersembunyi, yang semuanya terdapat hanya pada permukaan abaksial dari beberapa jenis, seperti Sonneratia spp., Osbornia spp., Lumnitzera spp., dan Laguncularia spp., (Macnae, 1986 dalam Sukardjo, 1996).
Anatomi daun mangrove demikian merupakan adapt terhadap kondisi lingkungan mangrove yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu udara yang umumnya tinggi, oleh karena mangrove tumbuh di daerah pesisir dan sebagian besar di wilayah garis lintang rendah/tropis. Keunikan daun mangrove sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang biasanya mempunyai suhu dan radiasi sinar matahari yang tinggi terlihat pada daun-daun yang posisinya terbuka pada tajuk teratas secara tajam condong, kadang-kadang posisinya mendekati vertikal, sedangkan daun yang ternaungi yang berada jauh di antara tajuk, cenderung posisinya horizontal.
Akibatnya  radiasi sinar matahari terseleksi sepanjang permukaan fotosintetik luas, sementara pemasukan panas per unit luas daun dan suhu menjadi berkurang. Oleh karena itu, walaupun lingkungan tempat tumbuh mangrove yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu udara yang umumnya tinggi yang mendorong laju transpirasi yang tinggi pula, namun pada kenyataannya mangrove memiliki laju traspirasi yang rendah yang disebabkan oleh adaptasi anatomi daunnya.
Berdasarkan hasil pengukuran Scholander et al. (1962) dalam Tomlinson (1986) diketahui bahwa laju transpirasi vegetasi mangrove, yakni sebesar 1,5 – 7,5 mg/dm2/mnt secara nyata lebih rendah dibandingkan laju transpitasi vegetasi daratan, yakni sebesar 10 – 55 mm/dm2/mnt.

Adaptasi Fisiologi Mangrove
Mangrove sebagai kelompok khusus dari halofita mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi dari substrat yang bergaram. Mangrove juga dapat mempertahankan keseimbangan air yang baik karena adanya mekanisme pengaturan yang beragam, seperti perilaku stomata, penyesuaian osmotik, tingkat        kesekulenan, dan pengeluaran garam (Tomlinson, 1986, Sukardjo, 1996).
Scholander et al. (1962) dalam Tomlinson (1986) dan Walter (1971) dalam  Kristijono (1977) menyatakan bahwa pada umumnya transpirasi jenis-jenis mangrove adalah rendah, sedangkan akarnya terus-menerus mengabsorbsi air garam. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi garam pada daun. Untuk mengatasi hal ini beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar pengeluaran garam (excretion gland) pada daunnya, sedangkan bagi jenis mangrove yang tidak memiliki kelenjar pengeluaran garam dilakukan dengan cara mengalirkan garam tersebut ke daun-daun muda yang baru terbentuk.
Sebagaimana halnya halofita lainnya, hampir semua jenis mangrove mengandung konsentrasi garam yang tinggi pada jaringannya. Pada salinitas yang tinggi, ion-ion Na+ dan Cl- mendominasi komposisi ion jaringan, tetapi K+, Mg2+ dan Ca2+ juga terdapat dengan konsentrasi yang nyata (Atkinson et al., 1967 dalam Downton, 1982). Pada konsentrasi lebih kecil dari 50 mM NaCl, maka K+ dan Mg2+ terdapat pada konsentrasi rendah yang mendominasi kation dalam cairan sel (Downton, 1982).
Secara umum, konsentrasi ion-ion anorganik yang tinggi diperlukan oleh halofita di dalam mengatur potensi osmotik antar sel, agar lebih rendah dari potensi air dalam tanah. Hal ini merupakan kebutuhan minimum untuk mengatur keseimbangan air positif. Penemuan ini didukung oleh hasil lapangan dan laboratorium yang menjelaskan bahwa potensi osmotik pada jaringan mangrove umumnya antara 0,5 – 2,0 Mpa lebih rendah dari substrat
tempat tumbuhnya (Chapman, 1979 dalam Downton, 1982).
Semai dari jenis mangrove non-excretion mempunyai konsentrasi cairan sel dan kadar garam cairan selnya yang rendah sekali. Hal ini tidak menguntungkan  dalam translokasi dari akar ke daun. Namun karena semainya juga mempunyai pericarp dan kotiledon yang bertekanan osmotik tinggi, maka translokasi masih tetap dapat berlangsung. Nilai tekanan osmotik tersebut adalah 30 atm1 pada pericarp, 24,4 atm pada kotiledon, dan 16,4 atm pada jaringan sekitar kotiledon (Walter, 1971 dalam Kritijono, 1977).
 Mekanisme penting dalam pengaturan keseimbangan garam pada mangrove meliputi: (a) kapasitas akar  untuk melawan NaCl yang berbeda, (b) pemilihan kelenjar-kelenjar khas sekresi garam dari beberapa jenis pada daunnya, (c) akumulasi garam pada berbagai bagian tumbuhan, dan (d) hilangnya garam ketika daun dan bagian tumbuhan lainnya gugur (Clough et al., 1982).
Pada tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, garam NaCl ditimbun dalam vakuola sel daun, sedangkan dalam sitoplasma dan organel kadar garam NaCl tetap rendah, sehingga tidak mengganggu aktivitas enzim dan metabolisme. Tekanan osmotik di sitoplasma dapat diatur dengan cara melarutkan glisibetain, prolin dan sorbitol. Agar penyesuaian osmotik dapat berfungsi sebagaimana mestinya, potensi zat terlarut di dalam sitoplasma harus sama dengan di dalam vakuola.
Namun zat terlarut tertentu tidak dapat menyebar merata pada kedua kompartemen sel tersebut. Dengan demikian, tonoplas mempunyai peranan penting dalam mengatur mekanisme transpor zat terlarut (Lauchi dan Epstein, 1984 dalam Bintoro, 1989). Pada dasarnya akar mangrove, seperti halnya akar tumbuhan tingkat tinggi lainnya, berperan selektif dalam menyeleksi ion-ion yang diserap dan ditrasportasikan ke xilem. Berdasarkan pengukuran komposisi cairan xilem mangrove tampak bahwa mangrove dapat mengeluarkan 80 – 90 % garam NaCl dari larutan sekitar akarnya (Atkinson et al., 1967).
Menurut Scholader (1968) dalam Sukardjo (1996) pengeluaran ion Na+ dan Cl- dan ion lainnya merupakan proses pasif dari mangrove. Berdasarkan berbagai bukti bahwa pengambilan NaCl terutama terjadi melalui apoplas (apoplastic pathway) pada akar mangrove
dan perbedaan kapasitas dalam pengeluaran garam di antara jenis mangrove mungkin terjadi karena perbedaan dari garis-garis kaspari (casparin strip) di endodermis akar (Cluogh et al., 1982).
 Sejumlah mangrove seperti Avicennia spp., Aegiceras spp., Aegialitis spp., Acanthus spp., Leguncularis spp. dan Sonneratia spp. mempunyai kelenjar sekresi garam. Kelenjar tersebut mensekresikan garam NaCl melalui proses yang aktif (Atkinson et al., 1967).
Meskipun perakaran dapat mengeluarkan garam hingga sebanyak 90 – 95 % NaCl dari larutan tanah, efek kumulatif dari sisa sebanyak 5 – 10 % yang terjadi di saluran masuk dapat menyebabkan pengaliran garam yang terus menerus nyata ke daun.
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi garam pada cairan xilem, maka diketahui bahwa kecepatan transpirasi dan konsentrasi NaCl pada daun mangrove membuktikan adanya sejumlah garam yang ditransportasikan ke daun melalui xilem selama hidupnya. Untuk jenis mangrove yang mempunyai kelenjar sekresi garam, kecepatan sekresinya dapat mencapat 0,9 µM Cl-/m2/detik (Atkinson et al., 1967).
Pada daun muda dari jenis Avicennia marina terdapat dua mekanisme sekresi garam, yaitu (a) Merocrine yang terdiri dari formasi sebuah vesikel yang terus bergerak sampai mencapai ukuran maksimum dan pada akhirnya pecah dengan mengeluarkan larutan garam. Selanjutnya vesikel tersebut terdisintegrasi dan vesikel yang baru mulai terbentuk, dan (b) Halocrine, mekanisme ini dimulai dengan akumulasi larutan yang tersekresi dalam ruangan sub-kutikula. Hal akhirnya akan merobek lapisan kutikula dan melepaskan larutan garam sebagai titik cair (Ish dan Dubinsky, 1990).

2.5 Fungsi dan Manfaat Mangrove
1. Habitat satwa langka
Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan mangrove merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan mangrove cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal
pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan mangrove bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.B VV  
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan mangrove memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada didalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai C02. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.
Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian
1. Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :
a. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang)
b. Hasil bukan kayu
    Hasil hutan ikutan (non kayu)
    Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)
2. Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya:
a. Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang.
b. Pengendalian instrusi air laut
c. Habitat berbagai jenis fauna
d. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang
e. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
f. Pengontrol penyakit malaria
g. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
           










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut sebagai habitatnya.Mangrove hidup pada dan berkembang pada lingkungan panatai yang terlindung laguna,dan muara sungai yang kominitas tumbuhanya toleran teradap garam.
·         Mangrove  pembatas yaitu:
o   Faktor fisiografi pantai.
o   Faktor Pasang-surut.
o   Gelombang dan Arus
o   Iklim
·         Zonasi mangrove Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok, yaitu:
o   Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
o   Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan lainnya.
Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1.   Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.   Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3.   Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.
·         Pola Adaptasi mangrove yaitu adapatasi secara anatomi dan fisiologis
·         Manfaat mangrove yaitu: Habitat satwa langka, Pelindung terhadap bencana alam, Pengendapan lumpur,. Penambat racun, Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ), Transportasi





















DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001.  Pedoman Teknis Pengenalan  dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004.  Statistik Kehutanan Indonesia,  Frorestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia  Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995.  Litter Production of  Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6  Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros. Sem.  III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.  Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Planktonologi (Zooplankton air tawar dan air laut)

MAKALAH INDEKS SIMILARITAS DAN INDEKS JARAK

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP